Pam Swakarsa atau Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa adalah sebutan untuk kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk oleh TNI untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) tahun 1998, yang berakhir dengan Tragedi Semanggi. Selama SI MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang SI. Juga terlibat bentrokan dengan masyarakat yang merasa resah dengan kehadiran Pam Swakarsa.
Sikap Pam Swakarsa ditambah dengan perlakuan diskriminatif aparat terhadap massa mahasiwa dibanding dengan pasukan Pam Swakarsa ini, membuat masyarakat antipati. Sejak sebelum dimulai SI MPR saja sudah menimbulkan b entrokan fisik antara masyarakat dengan Pam Swakarsa yang dilindungi aparat. Pangab/Menhankam Jenderal TNI Wiranto, tetap bersikeras untuk mempertahankan eksistensi pasukan swasta tersebut. Padahal berbagai kecaman dan peringatan akibat negatif keberadaan mereka pun sudah dilontarkan berbagai pihak. Misalnya dalam Deklarasi Ciganjur, yang disampaikan oleh empat tokoh: Gus Dur, Megawati, Sultan Hamengkubuwono X, dan Amien Rais.
Pam Swakarsa tak hanya mengamankan Gedung DPR/MPR Senayan, tapi juga dikirimkan dengan truk-tr k ke lokasi yang potensial menjadi daerah demonstrasi dan orasi mahasiswa, seperti Tugu Proklamasi atau Taman Ismail Marzuki. Mereka juga berunjuk kekuatan dengan berpawai melintasi kampus-kampus yang aktif. Mereka bahkan melakukan patroli malam diiringi dengan sedan polisi. Di lingkungan Senayan mereka beraksi menghalau para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang lewat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengumpulkan dan menyerahkan barang bukti kepada polisi berupa 40 bambu runcing dari kawasan Taman Ismail Marzuki, 132 bambu runcing dari Tugu Proklamasi, sebuah samurai, satu batang besi bengkok, empat ikat kepala, dan selembar saputangan.
Latar belakang
Susana politik menjelang SI memang dipanaskan oleh retorika yang menajam antara kelompok pro-SI dan anti-SI. Berbagai elemen gerakan mahasiswa menyatakan tidak mempercayai Habibie menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil, sedangkan SI tak ada artinya jika semua anggota masih orang Orde Baru, serta menuntut peradilan terhadap Soeharto dan pencabutan dwifungsi ABRI. Sedangkan hampir semua ormas Islam memiliki pandangan yang umumnya sama, bahwa SI merupakan tahap penting menuju Pemilu 1999, yang diharapkan menjadi tonggak untuk mengayuh demokratisasi dan reformasi berikutnya.
Menjelang SI sejumlah pertemuan silaturahmi yang digagas para pemuka Islam, mulai acara yang sifatnya intern, berskala kecil, sampai aksi pamer kekuatan massa. Ada Apel Akbar Umat Islam 1998 oleh Forum Silaturahmi Ulama-Habib dan Tokoh Masyarakat se-Jabotabek, yang menghimpun puluhan ribu massa, di Stadion Utama Senayan. Lalu disusul Kongres Umat Islam Indonesia, yang dihadiri sekitar 1.500 peserta dari 30-an ormas Islam di seluruh Nusantara, sampai yang berskala kecil, Silaturahmi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Hasil pertemuan-pertemuan ini bisa dibaca dari pernyataan sikap dan spanduk-spanduk yang dibentangkan. Intinya sama: mendukung dan menyukseskan Sidang Istimewa MPR 1998 serta menentang pihak-pihak yang ingin menggagalkan Sidang Istimewa MPR.
Acara yang diselenggarakan oleh Forum Silaturahmi Ulama di Senayan menghasilkan pernyataan sikap hasil yang dibacakan K.H. Syaifuddin dan diakhiri tepukan tangan 100 ribu massa dan sejumlah tokoh yang hadir, seperti Ketua Pelaksana Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) Ahmad Sumargono dan Sekjen Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) H. Husein Umar. Pengusaha nasional Fadel Muhammad malah bersuara lebih lantang, bila imbauan tak diindahkan, umat Islam siap menghadapi dengan segala risiko.
Kegiatan pasukan swakarsa muslim ini bisa ditengok sejak sepekan sebelum Sidang Istimewa. Awal November 1998, para aktivis pro-SI ini diangkut dengan 50-an truk yang mangkal untuk salat lohor di Masjid Istiqlal. Di kanan kiri badan truk diselempangkan spanduk putih bertuliskan huruf merah: "PAM Swakarsa SI MPR 98". Di tiap-tiap truk, berjubel anak berusia tanggung. Mereka mengenakan ikat kepala berwarna hijau bertuliskan huruf Arab. Tangan mereka menggenggam erat tongkat bambu runcing. Sekali dalam sehari berkeliling kota. Bukan untuk takbiran, tapi mengampanyekan perlunya SI. Pasukan muda ini agaknya tak termasuk sekitar 12 ribu massa yang telah mendaftar ke Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk melangsungkan sejumlah kegiatan mendukung SI. Ahmad Sumargono, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam atau KISDI mengatakan pasukannya sudah siap dan berkekuatan sekitar 5.000 orang.
Anggota
Pasukan Pam Swakarsa ini terdiri dari beberapa barisan. Ada yang di bawah koordinasi kepolisian, ada yang di bawah komando Furkon (Faisal Biki), ada yang dari Masyarakat Madura di bawah koordinasi Chalil Badawi, tak ketinggalan onderbrouw ICMI, yakni CIDES ikut bermain. Unsur-unsur Pam Swakarsa dapat juga disebut terdiri dari antara lain Furkon yang berada di bawah tanggung jawab MUI (dibentuk pada Kongres Umat Islam, tanggal 7-11 November 1998), KISDI (yang dipimpin Ahmad Sumargono yang pernah tercatat sebagai petinggi Partai Bulan Bintang), Brigade Hizbullah BKUI, GPI, Remaja Masjid Al-Furqon Bekasi, dan Mahasiswa Islam Bandung. Para komandannya umumnya adalah jawara-jawara silat yang sebagian didatangkan dari Banten. Milisi Pam Swakarsa juga diisi oleh kalangan pendekar betawi dan juga ormas-ormas Islam. Beberapa lokasi yang dijadikan markas barisan Pam Swakarsa adalah Mesjid Istiqlal, Manggala Wanabhakti, Mesjid Al Azhar dan sebuah tempat dekat Mabes ABRI di kawasan Cilangkap. Tidak semuanya datang dari kalangan Islam.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menyebut Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, FKPPI, dan berbagai organisasi lainnya juga berhimpun dalam pasukan paramiliter yang ikut mengamankan SI. Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, dan Warga Wijaya Indonesia bermarkas dalam kompleks Gedung DPR/MPR. Namun jumlah yang lebih banyak, yang bermarkas di Masjid Istiqlal dan Masjid Al Banna, Senayan, datang dari kalangan Islam. Mereka tak hanya berasal dari wilayah Jabotabek, melainkan dari daerah lain seperti Banten, Bandung, Pandeglang, Yogyakarta, Surabaya, dan Madura.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menyebut Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, FKPPI, dan berbagai organisasi lainnya juga berhimpun dalam pasukan paramiliter yang ikut mengamankan SI. Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, dan Warga Wijaya Indonesia bermarkas dalam kompleks Gedung DPR/MPR. Namun jumlah yang lebih banyak, yang bermarkas di Masjid Istiqlal dan Masjid Al Banna, Senayan, datang dari kalangan Islam. Mereka tak hanya berasal dari wilayah Jabotabek, melainkan dari daerah lain seperti Banten, Bandung, Pandeglang, Yogyakarta, Surabaya, dan Madura.
Majelis Dakwah Islamiah, sebuah forum pengajian yang dibina Golkar, menurunkan 600 anggota dengan tugas memblokir Tugu Proklamasi yang sedianya menjadi ajang digelarnya parlemen jalanan oleh mahasiswa dan kelompok penentang SI MPR. Ada juga kelompok dari Menteng, Kalipasir, dan Gondangdia. Dengan kekuatan 200 orang, bersama kelompok lain mereka bertugas menjaga Taman Ismail Marzuki.
Kelompok yang besar digerakkan oleh Faisal Biki, adik kandung almarhum Amir Biki, tokoh peristiwa Tanjungpriok. Bersama kelompok Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon) yang didirikan Komarudin Rahmat, Daud Poliraja, dan Furqon. Faisal sendiri mengaku, dananya antara lain dikucurkan oleh Menhankam Pangab Jenderal Wiranto dan Wakil Ketua DPR/MPR Abdul Gafur. Pasukan yang dirangkul Furkon berasal dari berbagai daerah. Jakarta, misalnya, banyak disumbang pasukan dari wilayah Tanahabang, Tanjungpriok, dan Kwitang. Dari luar daerah, kebanyakan dari Serang, Rangkasbitung, dan Pandeglang. Ada pula yang datang dari Yogyakarta, seperti diakui Ketua Tarbiyah Islamiah Yogyakarta, Djalaludin Syukur.
Bentrokan
Pengaman swakarsa yang beratribut ikat kepala bertuliskan huruf Arab tersebut bahkan telah dinilai oleh sejumlah kalangan masyarakat justru telah merusak citra Islam karena ternyata kebanyakan dari mereka merupakan preman bayaran.
9 November 1998, ratusan massa pam swakarsa berkumpul di Tugu Proklamasi. Sebagian anggota Pam Swakarsa mengaku berpartisipasi karena diundang untuk tahlilan wafatnya Ketua MUI K.H. Hasan Basri, meskipun tempatnya agak aneh: Tugu Proklamasi. 10 November 1998, sejak siang hari warga mengepung duaribuan pasukan Pam Swakarsa yang berkumpul ditengah-tengah lapangan Tugu Proklamasi. Masyarakat yang marah melempari dengan batu. Akhirnya pasukan pam swakarsa ini dievakuasi tentara sekitar pukul 19.30 WIB. Pam Swakarsa terlibat bentrokan di sekitar Hotel Hilton dengan massa rakyat Bendungan Hilir dan sekitarnya.
13 November 1998, siang hari sebelum terjadinya Tragedi Semanggi, 3 orang anggota pam swakarsa tewas dikeroyok massa. Peristiwanya bermula ketika sekitar 30 orang (rata-rata bertubuh gempal, berwajah keras, dan berikat kepala hijau) menghadang ratusan mahasiswa di jembatan Cawang, Jakarta Timur. Sekelompok Pam Swakarsa ini, bersiaga berbaris di depan barikade polisi dan tentara, menyerupai tameng. Melihat hal ini, massa setempat yang awalnya hanya menonton mahasiswa berdemonstrasi, serta merta melempari pam swakarsa dengan batu. Pasukan pam swakarsa sempat membalas dengan lemparan batu pula, seraya mengacung-acungkan badik, sebelum akhirnya lari. Lima dari mereka terjebak di sebuah tanah lapang berawa-rawa tak jauh dari jembatan itu, di tengah kepungan massa yang bersenjatakan kayu, batu, dan besi. Tinju, tendangan, pukulan kayu, dan besi serta hunjaman batu menghajar mereka. Dua orang dilarikan ke rumah sakit setelah babak belur. Tiga lainnya tewas.
Pengaman swakarsa yang beratribut ikat kepala bertuliskan huruf Arab tersebut bahkan telah dinilai oleh sejumlah kalangan masyarakat justru telah merusak citra Islam karena ternyata kebanyakan dari mereka merupakan preman bayaran.
9 November 1998, ratusan massa pam swakarsa berkumpul di Tugu Proklamasi. Sebagian anggota Pam Swakarsa mengaku berpartisipasi karena diundang untuk tahlilan wafatnya Ketua MUI K.H. Hasan Basri, meskipun tempatnya agak aneh: Tugu Proklamasi. 10 November 1998, sejak siang hari warga mengepung duaribuan pasukan Pam Swakarsa yang berkumpul ditengah-tengah lapangan Tugu Proklamasi. Masyarakat yang marah melempari dengan batu. Akhirnya pasukan pam swakarsa ini dievakuasi tentara sekitar pukul 19.30 WIB. Pam Swakarsa terlibat bentrokan di sekitar Hotel Hilton dengan massa rakyat Bendungan Hilir dan sekitarnya.
13 November 1998, siang hari sebelum terjadinya Tragedi Semanggi, 3 orang anggota pam swakarsa tewas dikeroyok massa. Peristiwanya bermula ketika sekitar 30 orang (rata-rata bertubuh gempal, berwajah keras, dan berikat kepala hijau) menghadang ratusan mahasiswa di jembatan Cawang, Jakarta Timur. Sekelompok Pam Swakarsa ini, bersiaga berbaris di depan barikade polisi dan tentara, menyerupai tameng. Melihat hal ini, massa setempat yang awalnya hanya menonton mahasiswa berdemonstrasi, serta merta melempari pam swakarsa dengan batu. Pasukan pam swakarsa sempat membalas dengan lemparan batu pula, seraya mengacung-acungkan badik, sebelum akhirnya lari. Lima dari mereka terjebak di sebuah tanah lapang berawa-rawa tak jauh dari jembatan itu, di tengah kepungan massa yang bersenjatakan kayu, batu, dan besi. Tinju, tendangan, pukulan kayu, dan besi serta hunjaman batu menghajar mereka. Dua orang dilarikan ke rumah sakit setelah babak belur. Tiga lainnya tewas.
Pengakuan
Pada 2004, para mantan anggota pasukan pengamanan swakarsa (pam swakarsa) meminta Jenderal TNI (Purn) Wiranto selaku mantan Panglima TNI mengakui keberadaan mereka dan pernah mengeluarkan kebijakan terkait pengerahan pams wakarsa pada Sidang Istimewa (SI) MPR tahun 1998. Mereka juga mendesak Wiranto merevisi tulisannya dalam buku "Bersaksi Di tengah Badai", yang menafikkan sekaligus menyakiti hati mereka lantaran tidak mengakui adanya pamswakarsa. Menurut para mantan anggota Pam Swakarsa ini, Pam Swakarsa dibentuk sebagai bagian dari Operasi Mantap yang digelar TNI menjelang Sidang Istimewa, dengan Mayjen Kivlan Zen dan Brigjen Adityawarman sebagai perwira yang mengkoordinir di lapangan.Para mantan anggota pasukan pam swakarsa juga menjelaskan bahwa mereka diketuai seorang panglima. Panglima itu dibantu sejumlah asisten di antaranya asisten intelijen, asisten operasional, dan asisten personalia dan logistik. Struktur ini mirip dengan struktur kemiliteran. Anggota pam swakarsa di lapangan yang banyaknya sekitar 30 ribu orang dibayar Rp10 ribu per hari per orang. Dalam acara pembubaran pada 21 November 1998 di vila Haji Embay di Ciomas, Banten, Kivlan mengucapkan terima kasih atas nama Panglima ABRI Wiranto dan Presiden Habibie.
Jumlah anggota Pam Swakarsa sampai 30 ribu orang, didatangkan dari berbagai kota. Kivlan Zen ditunjuk karena sebelumnya dia pernah berhasil mengalahkan aksi mahasiswa yang menyerbu ke Gedung MPR Senayan, juga dengan mengerahkan massa tandingan.
Setelah terbentuk Pam Swakarsa, Wiranto terlibat pertemuan yang mengkoordinasikan pergerakan pasukan milisi itu. Pada 9 November 1998, sekitar pukul 09.00-10.00, dilakukan rapat di rumah dinas Wiranto di Kompleks Menteri, Jalan Denpasar Raya, Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Pangab Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman, Kapolda Metro Jaya Mayjen Noegroho Djajoesman, dan Mayjen Kivlan Zen. Soal pendanaan awal, Wiranto mengarahkan Kivlan untuk bertemu pengusaha Setiawan Djody dan staf wakil presiden, Jimmly Ashiddiqie.
Kivlan Zen mengatakan bahwa Presiden BJ Habibie berdasarkan pengakuannya telah memberikan sejumlah dana untuk pam swakarsa, November 1998, melalui Wiranto, yang saat itu menjabat Panglima ABRI. Tanggal 4 November 1998, Kivlan mengaku dipanggil Wiranto di Mabes ABRI Jalan Merdeka Barat sekitar pukul 15.30. Ketika itu Wiranto meminta untuk mengerahkan massa pendukung Sidang Istimewa sambil mengatakan bahwa itu juga merupakan perintah Presiden BJ Habibie. Perintah ini bersifat rahasia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar